UN dan Pendidikan Karakter
Oleh: Mazhar

Sangat menarik pernyataan Mukhsin - Ketua PGRI Kabupaten Lombok Tengah -menanggapi peningkatan prestasi yang dicapai Kabupaten Lombok Tengah dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Pernyataan Mukhsin yang saya maksud adalah:  “Peningkatan prestasi ini harus dibarengi dengan perbaikan moral siswa dan guru yakni menyangkut kejujuran.”  Lebih lanjut Mukhsin menambahkan “Guru harus menjadi tauladan kejujuran bagi siswa” (Radar Lombok,  Kamis 24 Maret 2011 hal. 6).
Pernyataan Muhksin di atas senada dengan harapan Gubernur  NTB Dr TGH M Zainul Majdi, MA tentang pelaksanaan UN. Beliau mengatakan: “Saya mengharap agar pelaksanaan UN dilaksanakan secara transparan dan jujur.” (Radar Lombok, Kamis 7 April 2011 hal.2).
Harapan ketua PGRI kabupaten Lombok Tengah dan Gubernur NTB di atas sejalan dengan tema UN tahun ini: “Prestasi Yes, Jujur Harus”. Masalahnya adalah mampukah para guru dan sekolah-sekolah melaksanakan UN dengan jujur?
Kecurangan dalam UN kerap muncul ke permukaan. Masih segar dalam ingatan kita ketika 16 orang guru dan seorang kepala sekolah di Kabupaten Deli Serdang ditetapkan sebagai tersangka pelaku kecurangan UN.  Mereka kedapatan membetulkan jawaban soal ujian siswa di sekolahnya. Modusnya adalah seorang guru menjawab soal yang diujikan, selanjutnya para guru bersama-sama membetulkan jawaban siswa di ruang khusus sekolah tersebut setelah UN hari itu selesai (http:// www. kompas. com/ index. php/ read/ xml /2008 / 04/ 24/ 21443699/).
Ada beberapa modus kecurangan dalam UN. Pertama, yang paling sering kita temukan adalah melalui SMS. Walaupun membawa handphone dilarang pada saat pelaksanaan UN tetapi beberapa media melaporkan bahwa modus ini kerap dipakai. Kedua, menggunakan media tissu. Tissu yang sejatinya berfungsi untuk mengelap keringat malah dipakai menulis kunci jawaban lalu dengan mudah diedarkan. Ketiga, meletakkan kunci jawaban di suatu tempat rahasia yang dapat diambil oleh siswa yang sedang izin keluar ruang ujian. Tempat rahasia itu misalnya toilet siswa. Keempat, menulis kunci jawaban di anggota tubuh yang tersembunyi. Kelima, ini yang paling nekat. Guru langsung memberi tahu siswa pada saat pelaksanaan UN berlangsung (http://sultanhabnoer.wordpress.com/2008/04/03/). Keenam, membetulkan jawaban siswa setelah pelaksanaan UN selesai. Ketujuh, lembar soal discan untuk kemudian disebarkan kepada guru-guru yang sudah ditunjuk menjadi anggota tim sukses. Oleh guru tersebut, soal dikerjakan di tempat terpisah. Lalu jawaban dikirim kepada siswa. Kedelapan, lembar soal difax ke pihak lain untuk dikerjakan, lalu jawaban dikirim ke siswa (Lombok Post, Selasa 19 April 2011 hal. 1).   
Modus memberi kunci jawaban kepada siswa sebelum pelaksanaan UN diantisipasi Kemendiknas dengan mengawasi secara ketat proses penyusunan soal, pencetakan soal sampai pada pendistribusian soal. Sedangkan modus memberi kunci jawaban pada saat pelaksanaan UN diantisipasi Kemendiknas dengan membuat lima paket soal di tiap ruang ujian. Tetapi menurut Abduhzen - Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Besar PGRI- pihak sekolah bisa saja mengakalinya dengan cara mengerjakan lima variasi soal tersebut, selanjutnya soal diberikan ke lima siswa yang sudah disiapkan di masing-masing kelas. Lima siswa tersebut menyebar kunci jawaban tadi ke sesama siswa yang satu kode (Lombok Post, Jum’at 15 April 2011 hal. 2).
Perubahan komposisi nilai penentu UN menurut Abduhzen bisa membuat guru atau pihak sekolah semakin nakal. “Kenakalannya ya mempermainkan nilai rapor” tandasnya. Ketika ditanya mengapa pihak sekolah berbuat seperti itu? Abduhzen menjawab bahwa pihak sekolah berkewajiban meluluskan siswanya. Para guru mata pelajaran yang di-UN-kan dalam posisi terjepit. “Idealismenya untuk jujur mendapat tekanan kuat”. Tekanan kepada guru diberikan oleh kepala sekolah. Sedangkan kepala sekolah sendiri juga ditekan oleh kepala daerah. Abduhzen mengatakan rata-rata setiap kepala daerah meminta angka kelulusan berkisar antara 90 hingga 97 persen. Padahal dari hasil penelitian PGRI jika UN dilaksanakan secara sportif dan obyektif, angka kelulusan berkisar antara 40 hingga 50 persen. Angka ini bisa semakin anjlok untuk sekolah-sekolah terpencil. (Lombok Post, Jum’at 15 April 2011 hal. 2).
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter dicanangkan pemerintah karena keprihatinan kita melihat perilaku siswa-siswa yang sangat jauh dari predikat orang-orang terdidik. Perilaku mereka tidak mencerminkan pendidikan yang telah mereka tempuh. Mulai dengan banyaknya kasus tawuran antar pelajar, demonstrasi anarkis, kasus miras dan narkoba di lingkungan pelajar, pergaulan bebas dan lain-lain yang sangat menyedihkan.
Dengan pendidikan karakter diharapkan siswa menjadi pribadi yang berprilaku baik yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa yang bermartabat. Pendidikan karakter ditempuh dengan tiga jalur yaitu: (1) pembelajaran semua mata pelajaran, (2) pengembangan diri, dan (3) budaya sekolah (Balitbang Kemendiknas 2010: 12).
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter adalah nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komuniktif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Balitbang Kemendiknas 2010: 10).
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter bukanlah bahan ajar. Nilai-nilai tersebut tidak dijadikan sebagai pokok bahasan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, ataupun fakta seperti dalam mata pelajaran. Materi pelajaran digunakan sebagai bahan atau media untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Oleh karena itu, guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada, tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa.
Melalui pengembangan diri, pendidikan karakter dilakukan dengan cara pengintegrasian ke dalam kegiatan sehari-hari seperti: (1) kegiatan rutin sekolah misalnya: upacara bendera, beribadah bersama, berdo’a setiap memulai dan mengakhiri pelajaran, mengucapkan salam ketika bertemu guru, tenaga kependidikan atau teman dll. (2) kegiatan sepontan seperti: menegur dan memberi peringatan kepada siswa yang membuang sampah sembarangan, berpakaian tidak senonoh, membuat kegaduhan, berkelahi dll. (3) keteladanan yaitu perilaku guru dan tenaga kependidikan dalam memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik misalnya: berpakaian rapi, datang tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur kata sopan, kasih sayang, perhatian terhadap peserta didik, jujur, menjaga kebersihan dll. (4) pengkondisian yaitu mengatur kondisi sekolah agar mencerminkan kehidupan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa, misalnya: toilet yang selalu bersih, bak sampah ada di berbagai tempat dan selalu dibersihkan, sekolah terlihat rapi, alat belajar ditempatkan teratur dll.
Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya, dan antaranggota kelompok masyarakat sekolah. Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan,  dan tanggung jawab merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam budaya sekolah (Balitbang Kemendiknas 2010: 20).
Berdasarkan uraian di atas, dapat saya simpulkan: (1) masih ada guru-guru atau sekolah-sekolah yang melaksanakan UN secara tidak jujur, (2) salah satu nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter adalah kejujuran. Untuk mengembangkan nilai kejujuran sekolah harus menempuh tiga jalur yaitu pembelajaran di kelas, pengembangan diri dan budaya sekolah. UN merupakan salah satu bentuk pembelajaran di kelas yang kita sebut evaluasi. Melaksanakan UN dengan jujur berarti sekolah telah mengembangkan pendidikan karakter melalui tiga jalur sekaligus. Sebaliknya melaksanakan UN dengan tidak jujur berarti sekolah telah menghianati nilai-nilai pendidikan itu sendiri dan tidak mendukung pendidikan karakter.
Untuk memutus mata rantai kecurangan, kita harus berani mundur satu langkah untuk maju tiga langkah bahkan tak terhingga. Siswa yang memang tidak pantas lulus harus kita katakan tidak lulus. Siswa harus kita beri pencerahan bahwa untuk mencapai kesuksesan harus dilakukan dengan kerja keras, tidak bisa dengan cara-cara instan. Sekolah dan pemerintah daerah harus berani mengambil kebijakan yang tidak populis yaitu lebih mengutamakan kejujuran dari pada target kelulusan yang tinggi tetapi semu. Orang tua siswa juga harus diberi pencerahan bahwa kejujuran jauh lebih penting bagi masa depan anak-anaknya dari pada angka-angka yang tak bermakna karena diperoleh dengan tidak jujur. (***)



BIBLIOGRAFI

Radar Lombok,  Kamis 24 Maret 2011 hal. 6
http:// www. kompas. com/ index. php/ read/ xml /2008 / 04/ 24/ 21443699/
Lombok Post, Selasa 19 April 2011 hal. 1
Balitbang Kemendiknas 2010: 12

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOAL MID SEMESTER GANJIL IPA KELAS V TAHUN PELAJARAN 2020/2021

SOAL MID SEMESTER GANJIL SBdP KELAS V TAHUN PELAJARAN 2020/2021

SOAL MID SEMESTER GANJIL PPKn KELAS V TAHUN PELAJARAN 2020/2021